Categories
Selingkuh

Cerita Dewasa Aurel Yang Kesepian

Cerita Dewasa Aurel Yang Kesepian – Aure Namaku Aurel, seorang wanita berusia 28 tahun yang telah menikah. Aku memiliki tubuh yang sering dipuji teman-temanku sebagai proporsi ideal, dengan tinggi 173 cm, berat 55 kg, kulit putih, dan penampilan yang mereka bilang mirip model. Banyak pria yang mencoba menggodaku karena fisikku, tapi aku selalu berusaha menjaga batasan.

Suamiku, seorang pengusaha mapan berusia 30 tahun, cukup tampan dan berpenghasilan lebih dari cukup untuk keluarga kami. Awalnya, kehidupan kami harmonis dan bahagia. Namun, belakangan ini, semuanya berubah. Ia semakin sibuk dengan pekerjaannya, jarang pulang ke rumah, dan komunikasi kami pun mulai tersendat.

Suatu malam, saat suamiku sedang dinas ke luar kota, aku pergi clubbing bersama teman-teman. Di sana, dua pria yang cukup tampan mendekatiku. Mereka memperkenalkan diri sebagai Anton dan Teddy. Usia mereka sepertinya lebih muda dariku, dan aku berpikir, “Boleh juga nih, main sama cowok-cowok muda pasti seru.” Akhirnya, kami memutuskan untuk melanjutkan malam itu di sebuah hotel

Sesampainya di kamar hotel, aku terkejut. Dua pria lain, Joni dan Rendi, sudah menunggu di sana. Empat orang sekaligus? Aku sempat ragu, tapi hasratku sudah terlanjur membara. Anton dan Teddy mulai mendekat, menciumku dengan penuh gairah. Joni dan Rendi tak mau ketinggalan; tangan mereka mulai menjelajahi tubuhku, meremas dan memainkan payudaraku. Aku merasakan gelombang birahi yang semakin kuat.

“Wow, ini jackpot malam ini!” kata Rendi sambil memandangi tubuhku dengan penuh kekaguman. “Santai, kita nikmati pelan-pelan biar puas,” timpal Anton. Joni dan Rendi semakin liar, memainkan putingku dengan lidah mereka, sementara aku hanya bisa mendesah, “Ohh… enak…”

Anton dengan cepat melepas rok dan pakaian dalamku. “Wah, terawat banget ini,” ujarnya sambil mulai menjelajahi vaginaku dengan lidahnya. Aku mendesah semakin keras, tubuhku bergetar menikmati setiap sentuhan. Cairan pelumas mengalir deras, tanda aku sudah siap untuk langkah berikutnya.

“Udah becek banget, gua duluan ya,” kata Anton sambil memposisikan dirinya. Penisnya, meski tidak terlalu besar, terasa begitu hidup dengan urat-urat yang menonjol dan ujung yang tebal. “Ohh… sempit banget, enak!” erangnya sambil mulai menggerakkan pinggulnya.

Sementara itu, Teddy, Joni, dan Rendi juga tak tinggal diam. Mereka melepas pakaian mereka, memperlihatkan tubuh yang atletis dan penis yang, meski rata-rata ukurannya, cukup membuatku penasaran. Reza memintaku untuk menjilati penisnya, sementara Teddy dan Joni meminta tanganku untuk mengocok milik mereka. Aku merasa seperti berada di pusat kenikmatan yang luar biasa.

Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu menyentuh lubang anusku. Ada cairan dingin—mungkin gel pelumas—yang membuatku sedikit terkejut. Tak lama, aku merasakan benda tumpul masuk perlahan. Itu Teddy. Ia berhenti sejenak setelah masuk, lalu mulai menggerakkan pinggulnya dengan pelan. Aku tak bisa berpikir jernih lagi. Tubuhku seperti diserang dari segala arah—vagina, anus, dan mulutku penuh dengan kenikmatan.

“Ehh… ohh…” Aku mendesah tak terkendali, sampai akhirnya orgasme pertamaku tiba. “Dia udah klimaks, pasti keenakan banget!” komentar Reza sambil tersenyum.

Sepuluh menit berlalu, Anton mencapai klimaksnya. Aku merasakan cairan hangat mengalir di dalam vaginaku. Tak lama, Reza juga memuncratkan spermanya di mulutku, membuatku sedikit tersedak karena volumenya yang begitu banyak. Teddy menyusul, mengisi anusku dengan cairannya. Aku merasakan aliran hangat dari kedua sisi tubuhku.

Tanpa memberiku waktu untuk beristirahat, Joni mengambil alih. Ia menggenjotku dari belakang dengan penuh semangat. Aku kembali mendesah, “Ohh… uhmm…” Kenikmatan itu membawaku ke orgasme kedua. Ketiga temannya hanya menonton kali ini, seolah menikmati pemandangan.

Malam itu berlanjut hingga pagi. Mereka bergantian menikmatiku, dan aku pun larut dalam kenikmatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Kami akhirnya tertidur karena kelelahan.

Pagi harinya, mereka mengantarku pulang. Kami tak bertukar nomor telepon, tapi aku tak terlalu memikirkannya. Masih banyak pria lain di luar sana yang bisa kujelajahi. Rasanya, malam itu menjadi titik awal petualangan seksualku yang semakin liar.

Suatu hari, suamiku harus pergi ke luar negeri untuk urusan bisnis, meninggalkanku sendirian selama dua minggu. Aku tak pernah ikut campur dengan urusan pekerjaannya, jadi hari-hariku kuhabiskan dengan jalan-jalan ke mal, pergi ke salon, atau mengikuti kelas senam untuk mengisi waktu.

Baca juga : Desahan kuat Saat Ku Genjot Temen Mama

Namun, kesepianku berubah drastis karena sebuah kejadian tak terduga yang melibatkan supirku, Bobby. Hari itu, setelah pulang dari kelas senam, aku tak menyangka apa yang akan terjadi. Seperti biasa, begitu tiba di rumah, aku membuka pintu mobil dan langsung masuk, melangkah menaiki tangga melingkar menuju kamar utama di lantai dua.

Di dalam kamar, aku melempar tas ke kursi dekat pintu dan mulai melepas pakaian senamku yang berwarna hitam, hingga hanya tinggal bra dan celana dalam. Saat melintas di depan cermin meja rias, aku terhenti sejenak. Aku memandangi tubuhku sendiri—betis yang masih kencang, pinggul lebar berbentuk seperti gitar dengan pinggang kecil, dan bokong yang masih kencang menonjol. Aku menyamping, memperhatikan lekuk tubuhku, lalu menatap buah dadaku yang masih terbungkus bra, terlihat penuh dan padat.

Tiba-tiba, aku tersentak. “Ouh, ngapain kamu di sini?!” seruku, kaget, saat melihat bayangan kepala Bobby di cermin. Rupanya, ia berdiri di ambang pintu kamar yang lupa kututup. “Jangan lihat! Keluar, cepat!” bentakku sambil buru-buru menutupi tubuhku. Tapi, alih-alih menurut, Bobby justru melangkah masuk, mendekat dengan tatapan tajam.

“Bobby, keluar sekarang!” bentakku lagi, mataku melotot marah. “Silakan teriak sekuatnya, Bu. Hujan di luar akan menutupi suara Ibu,” katanya dengan nada menantang. Aku melirik ke jendela di sampingku. Hujan memang turun deras, dan dedaunan di luar bergoyang diterpa angin. Kamar ini kedap suara, membuatku semakin cemas.

Langkah Bobby semakin dekat, dan jantungku berdegup kencang. Aku mundur perlahan, tapi kaki akhirnya tersandung pinggir ranjang. “Mas, jangan!” ucapku dengan suara gemetar. Tiba-tiba, Bobby menerjangku. Tubuhku terpental ke ranjang, dan dalam sekejap, tubuhnya yang kekar menindihku. Aku meronta, menendang dan mendorongnya dengan kedua tangan dan kakiku, tapi tenagaku tak sebanding. Ia kewalahan sejenak, namun akhirnya aku berhasil melepaskan diri, berbalik, dan merangkak menjauh.

Tapi Bobby lebih cepat. Ia menarik celana dalamku hingga robek, membuatku terseret kembali ke pinggir ranjang. Aku terus merangkak, berusaha menjauh, tapi ia menangkapku lagi. Tiba-tiba, aku merasakan beban berat di pinggulku, membuatku tak bisa bergerak. “Bobby, jangan… tolong!” isakku, air mata mulai mengalir.

Bobby seolah tak mendengar. Dengan cepat, ia mengikat kedua tanganku ke belakang dengan tali entah dari mana. Lalu, ia menarik kakiku, mengikat pergelangan kakiku hingga aku tak bisa bergerak bebas. “Aku ingin mencicipi Ibu,” bisiknya di telingaku. “Sejak pertama kali melamar jadi supir, aku sudah membayangkan momen ini.” Napasnya terdengar memburu.Agen Domino99

“Tapi aku majikanmu, Ben!” protesku, mencoba mengingatkannya. “Betul, Bu, tapi itu saat jam kerja. Sekarang sudah jam tujuh malam, aku bebas tugas,” balasnya sambil melepas tali bra yang kukenakan. Aku merinding saat ia mendengus di dekat telingaku, melepas pakaiannya sendiri, lalu membalikkan tubuhku hingga aku telentang.

Aku bisa melihat tubuh atletisnya yang telanjang. Tak lama, ia menarik kakiku hingga pahaku menempel pada perutku, lalu mengikatnya lagi dengan tali. Ia menggendongku ke sudut ranjang, mendudukkanku di pangkuannya, seperti ayah memeluk anak perempuan. Tangannya yang kasar mulai meraba pinggul, paha, dan bokongku, sementara tangan lainnya menahan pundakku hingga kepalaku bersandar di dadanya yang bidang.

“Bobby, tolong, jangan!” ucapku berulang-ulang, suaraku terbata-bata. Tapi ia tak peduli. Tangannya terus menjelajahi tubuhku, membuatku merinding. Saat jemarinya menyentuh belahan pahaku, aku menegang, merasakan sensasi seperti tersengat listrik. “Ohh…” desisku tanpa sadar saat jarinya mulai mengusap bibir vaginaku dengan lembut, naik-turun, hingga aku merasakan denyutan dan gatal yang tak tertahankan.

Birahiku mulai naik, apalagi sudah lama suamiku tak menyentuhku. Entah bagaimana, bibirku tiba-tiba bertemu dengan bibirnya. Kami berciuman penuh gairah, saling menjilat dan menghisap. “Aurel, wajahmu begitu menggoda,” bisiknya dengan napas terengah. Lalu, ia menarik tubuhku hingga buah dadaku berada di depan wajahnya. Mulutnya langsung memagut putingku, mengisap dan menggigit kecil, membuatku mendesah panjang, “Ohh… Mas…”

Perasaanku campur aduk—takut, kesal, namun ada kenikmatan yang tak bisa kuingkari. Tiba-tiba, ia melepaskan tubuhku hingga aku terhempas ke ranjang. Tak lama, mulutnya melumat bibir vaginaku dengan buas, membuatku menggelinjang dan mengerang keras. “Bobby… cukup… ohh!” rintihku, tubuhku mengejang menahan sensasi geli dan nikmat yang luar biasa.

Jarinya mulai menjelajahi lorong vaginaku, mengorek dengan lembut namun pasti. “Sabar, sayang, aku suka sekali dengan tubuhmu,” gumamnya sambil terus menjilat. Setelah puas, ia mendekat ke wajahku, meremas buah dadaku. “Bu Aurel, aku masuk sekarang, ya,” bisiknya. Aku hanya bisa memejamkan mata saat kurasakan penisnya yang keras mendesak masuk ke dalam vaginaku.

“Aah… sakit!” jeritku, merasakan ngilu yang luar biasa. Tapi ia bergerak pelan, seolah menikmati setiap gesekan. Gerakannya semakin cepat, membuat tubuhku berguncang hebat. Tiba-tiba, kami sama-sama mengerang keras. Aku merasakan orgasme yang luar biasa, diikuti oleh Bobby yang terhempas di sampingku, napasnya tersengal.

“Sialan kamu, Bob!” geramku, memecah kesunyian. Setelah beberapa saat, napasku mulai tenang. “Kamu gila, Ben! Kamu memperkosa istri majikanmu!” kataku dengan nada kesal. “Bagaimana kalau aku hamil?” tanyaku lagi, cemas.

“Tenang, Bu. Aku sudah mencampurkan pil antihamil di air putih yang Ibu minum setiap pagi selama dua hari ini,” jawabnya dengan tenang. Aku terkejut. “Jadi, kamu sudah merencanakan ini?!” bentakku. Ia hanya tersenyum.

“Bagaimana, Bu? Tadi enak, kan?” tanyanya sambil membelai rambutku. Wajahku memerah. Dalam hati, aku tak bisa menyangkal bahwa aku menikmati kenikmatan itu, bahkan merasakan orgasme dua kali. “Lepasin talinya, Ben!” gerutuku, tanganku sudah pegal.

“Nanti dulu, kita mandi dulu,” katanya sambil menggendongku ke kamar mandi. Ia meletakkanku di lantai keramik di bawah pancuran shower, lalu menyalakan air. Tubuhku basah, dan ia mulai menggosok tubuhku dengan sabun cair, dari pinggul hingga buah dadaku. Tangannya yang kasar terasa lembut saat meremas putingku, membuatku kembali mendesah.

Setelah memandikanku, ia menggendongku kembali ke ranjang, masih basah. “Aku ambilkan makanan, ya,” katanya, lalu pergi dengan handuk melilit pinggangnya. Aku termenung. Sudah lama aku tak merasakan kehangatan seperti ini karena suamiku yang selalu sibuk. Meski aku kesal dan malu, ada perasaan lega yang sulit kujelaskan.

Bobby kembali dengan nasi goreng dan segelas minuman favoritku. “Biar aku suapin, Bu,” katanya lembut. Aku mencicipi makanannya, dan ternyata cukup enak. “Kamu yang masak, Ben?” tanyaku. “Iya, siapa lagi? Kan cuma kita di rumah,” jawabnya.

“Bu, boleh aku panggil Mbak Aurel? Biar lebih akrab,” pintanya. “Terserah,” jawabku. “Kalau gitu, panggil aku Bang Bobby, ya,” celetuknya. Aku hanya mengangguk, masih merasa campur aduk.

“Masih kuat, Mbak?” tanyanya dengan senyum nakal, tangannya kembali meraba tubuhku. Aku menunduk, tak menjawab. Dalam hati, aku tahu aku tak rela, tapi kenikmatan tadi membuatku tak bisa menolak sepenuhnya. Malam itu, aku seperti kembali merasakan gairah yang telah lama hilang
Anton mengubah posisiku, memintaku untuk memeluknya dari atas. Aku menggoyangkan pinggulku, merasakan penisnya menyentuh setiap sudut sensitifku. “Oh my God, enak banget!” erangnya. Di saat yang sama, Reza menyodorkan penisnya ke mulutku. Aku menghisapnya dengan penuh semangat, membuatnya mengerang, “Gila, sedotannya mantap banget!”